Jakarta, Shoes and Care - Sepatu bukan cuma soal kenyamanan atau fungsionalitas semata. Bagi sebagian orang, brand sepatu yang dipakai bisa mencerminkan status sosial, selera, bahkan identitas diri. Nggak heran kalau brand-brand tertentu di dunia sneakers atau fashion footwear seringkali dikaitkan dengan “gengsi”. Kenapa bisa begitu? Apa yang membuat sepatu dari brand tertentu dianggap lebih “prestise” dibanding yang lain? Mari kita gali dari sisi psikologi konsumen, pengaruh sosial, hingga strategi marketing dari brand itu sendiri.
1. Brand Sebagai Simbol Status Sosial
Salah satu alasan utama kenapa sepatu dari brand tertentu dianggap bergengsi adalah karena brand tersebut menjadi simbol status. Dalam dunia psikologi konsumen, ada istilah yang disebut conspicuous consumption, yaitu konsumsi yang dilakukan dengan tujuan memperlihatkan status sosial.
Ketika seseorang memakai sepatu merek Air Jordan, Salomon, atau Balenciaga, ada sinyal yang coba dikirimkan ke lingkungan: “Aku bisa membeli ini.” Gengsi muncul dari situ, karena tidak semua orang bisa atau mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk sepasang sepatu. Jadi bukan cuma soal tampil keren, tapi juga menunjukkan bahwa dia berada di “kelas sosial tertentu”.
2. Eksklusivitas dan Kelangkaan
Brand-brand tertentu sengaja merancang produknya dalam jumlah terbatas untuk menciptakan kesan eksklusif. Produk yang langka cenderung lebih dicari dan lebih “bernilai” di mata orang. Misalnya, ketika Nike merilis model kolaborasi dalam jumlah sangat terbatas, permintaan jadi melonjak dan harga bisa naik drastis di pasar resell. Fenomena ini bikin sepatu jadi semacam barang koleksi dan simbol status. Orang yang berhasil mendapatkan sepatu limited edition biasanya dianggap punya “akses” khusus, entah itu karena cepat, punya koneksi, atau siap mengeluarkan dana lebih. Kelangkaan ini mendorong terciptanya gengsi di kalangan pecinta sepatu dan fashion.
3. Kekuatan Branding dan Cerita di Baliknya
Brand yang berhasil membangun narasi kuat di balik produknya biasanya lebih mudah melekat di benak konsumen. Contohnya, Air Jordan bukan cuma sepatu basket, tapi juga bagian dari kisah Michael Jordan, ikon olahraga dunia. Atau sepatu New Balance seri tertentu yang dikaitkan dengan gaya hidup profesional sukses di kota besar.
Kisah-kisah ini menambah nilai emosional dan citra “prestige” pada produk. Sepatu bukan cuma jadi alas kaki, tapi punya makna lebih dan membawa cerita, nilai-nilai, serta gaya hidup tertentu. Dari situlah gengsi terbentuk, pada dasarnya karena orang merasa sedang membawa bagian dari cerita sukses itu.
4. Dampak Influencer dan Kultur Pop
Nggak bisa dipungkiri, influencer, artis, dan tokoh publik punya pengaruh besar dalam membentuk persepsi tentang brand. Ketika Kanye West merilis Yeezy bareng Adidas, banyak orang berebut beli bukan hanya karena desainnya, tapi karena nama Kanye di balik produk itu.
Begitu juga dengan rapper, atlet, atau selebgram yang sering tampil pakai brand tertentu. Sepatu yang dikenakan mereka bukan cuma sekadar fashion item, tapi jadi “perpanjangan” dari citra mereka. Dan ketika penggemar ingin meniru gaya atau status mereka, sepatu jadi alat yang paling gampang diikuti. Dari sinilah efek domino terbentuk: semakin banyak yang menganggap sepatu itu keren, semakin tinggi pula nilai gengsinya.
5. Harga yang Mencerminkan Kelas Konsumen
Realitanya, harga barang juga jadi indikator gengsi. Semakin mahal sebuah sepatu, semakin eksklusif pasar yang bisa menjangkaunya. Meski tidak selalu harga menentukan kualitas secara absolut, persepsi umum menyatakan bahwa yang mahal = lebih bagus, lebih keren, dan lebih prestisius.
Sepatu dengan harga tinggi dianggap bukan cuma soal bahan, tapi juga desain, craftsmanship, dan nilai dari brand itu sendiri. Orang yang memakainya secara tidak langsung dianggap “mampu” dan punya standar tinggi dalam memilih produk. Ini memicu munculnya kesan “wah” dari lingkungan sekitar yang pada akhirnya memperkuat kaitan antara brand dan gengsi.
6. Identitas Diri dan Komunitas
Terakhir, pemilihan brand sepatu seringkali berkaitan dengan identitas diri dan kebutuhan untuk diterima dalam kelompok tertentu. Misalnya, komunitas sneakerhead punya standar brand dan model tertentu yang dianggap keren. Kalau kamu pakai sepatu yang dianggap “high tier” dalam komunitas itu, otomatis dapet “respect” dong? Benar. Identitas ini juga bisa lebih personal, ada orang yang merasa lebih percaya diri saat pakai sepatu dari brand tertentu karena merasa mewakili karakternya. Entah itu stylish, profesional, edgy, atau rebel. Semakin kuat keterikatan personal ini, semakin tinggi nilai gengsinya di mata si pemakai.
Gengsi dalam dunia sepatu bukan cuma dibentuk dari desain atau fungsi, tapi dari banyak elemen: branding, cerita, eksklusivitas, harga, dan persepsi sosial. Brand tertentu bisa menjadi simbol status, alat komunikasi sosial, hingga representasi identitas pribadi. Dan dalam masyarakat yang makin visual dan konsumtif, apa yang kita kenakan (termasuk sepatu) menjadi “bahasa” untuk menunjukkan siapa kita atau siapa yang ingin kita tampilkan.
Jadi, saat seseorang rela antre semalaman atau merogoh kantong dalam-dalam demi sepasang sepatu limited edition, mungkin itu bukan cuma soal sepatu. Tapi tentang pengakuan, identitas, dan tentu saja gengsi. Kalau kamu ingin tampil keren tapi tetap sesuai budget, ingat: gaya itu soal selera, bukan semata harga. Tapi kalau kamu sedang ingin menambah koleksi sepatu impian yang memang punya nilai tersendiri, nggak ada salahnya juga selama itu sesuai kebutuhan dan kemampuan.